Minggu, 22 Juli 2012

Memahami Sifat Fitrah Orang Tua


Lembar Pengesahan





Karya tulis ini sudah diperiksa dan disahkan oleh guru pembimbing Bahasa Indonesia
Ibu Nunung Nurhayati











Siswi


Cici Emilia Sukmawati
NIS : 091010064



Guru Pembimbing


Ibu Nunung Nurhayati
NIP : . 13188612




Kata Pengantar


Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Karunia, Hidayah dan Inayah-Nya, sehingga karya tulis ilmiah ini sudah selesai kami teliti dan kami jadikan satu bukti tulisan sederhana yang mungkin dapat berguna bagi penerus kami.

Dalam keterbatasan data, waktu serta kemampuan, kami menyadari bahwa makalah ini masih perlu disempurnakan kembali. Oleh karena itu kami membutuhkan saran dan kritik dari semua pembaca dan terutama Guru Bahasa Indonesia kami Ibu Nunung Nurhayati.

Mudah-mudahan buku ini berguna di kemudian hari kelak. Kepada semua pihak yang telah bersangkutan dalam makalah ini, kami mengucapkan trimakasih yang sebesar-besarnya.



Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Karawang, Februari 2012
Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang

Sifat-sifat fitrah orang tua ini barang kali tanpa dikemukakan dalam karya tulis ini pun telah terasakan dalam diri orang tua. Orang tua zaman kuno atau orang tua zaman modern, orang tua pedesaan atau orang tua metropolitan semua menyadarinya. Jadi, karya tulis ini ditampilkan hanyalah sekedar menghidupkan kesadaran para orang tua di satu pihak, dan anak-anak di pihak lain. Diharapkan agar para anak memperoleh rujukan yang jelas tentang sifat-sifat fitrah orang tuanya secara universal, sehingga anak dapat memahami dan menyadari perasaan-perasaan terdalam orang tuanya dalam berhubungan dengan anak-anaknya. Selanjutnya, diharapkan para anak berperilaku sesuai dengan perasaan-perasaan fitrah orang tuanya.
Maksud lebih jauh dari penyajian karyatulis ini adalah agar kita bersama-sama belajar tentang kaidah-kaidah hubungan orang tua dan anak didasarkan pada sifat-sifat fitrah ini. Baik bagi anak maupun  orang tua, memahami sifat-sifat fitrah itu akan memudahkan melakukan paergaulan dan komunikasi  yang saling melegakan. Sebaliknya, orang tua diperintahkan menjadikan anak-anaknya itu baik. Dengan mengetahui sifat-sifat fitrah tersebut, maka komunikasi diharapkan dapat dilakukan.

1.2   Tujuan

Dalam setiap karya ilmiah pastilah penulis memiliki tujuan tertentu,  mengapa penulis memilih judul tersebut sebagai bahan penulisannya. Adapun tujuan itu sebagai berikut :

1.       Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia
2.       Agar terjalin hubungan baik antara orang tua dan anak
3.       Lebih memahami sifat dan keinginan orang tua
4.       Lebih mencintai orang tua baik secara lahir maupun batin
5.       Lebih menjaga dan menjalin komunikasi yang lebih baik lagi antara orang tua dan anak

1.3   Identifikasi Masalah

Sifat fitrah orang tua adalah sifat yang melekat pada setiap diri orang tua, dimana sifat tersebut hanya ada secara alamiah dalam diri orang tua yang telah memiliki keturunan. Sifat yang tersebut tidak dapat dibuat sendiri. Dengan bersama-sama mempelajari sifat fitrah orang tua ini, kita bisa memahami apa yang harus kita lakukan dan bagaimana seharusnya berbakti kepada orang tua.

1.4   Pembatasan Masalah

Dalam penulisan karya tulis ini penulis membatasi apa saja yang dijelaskan dalam buku ini diantaranya adalah :
·         Apa saja sifat fitrah orang tua itu?
·         Bagaimana memahami sifat fitrah orang tua ?
·         Mengapa orang tua memiliki sifat fitrah tersebut ?
·         Apa saja yang harus dilakukan anak terhadap sifat fitrah orang tua?


1.5   Metode Penulisan

Metode Literatur :
Sistem pengumpulan data dengan cara membaca buku dan mencari di internet




BAB II
BAHASAN


2.1       SENANG MEMPUNYAI ANAK

        “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”(*Q.S AL-KAHFI :46)  
Allah menggunakan kata-kata perhiasan (زِينَØ©ُ) untuk  menggambarkan keberadaan anak bagi orang tuanya. Apakah sebenarnya perhiasan itu? Emas dan perak dikenal manusia sebagai perhiasan, karena benda-benda tersebut memberikan keindahan kalau dilihat, rasa kebanggaan bagi yang memiliki, dan kesenangan yang dapat ditonjolkan kepada orang lain, serta memberikan penghargaan dan penghormatan bagi pemiliknya.

Pasangan suami istri yang memperoleh karunia anak dari Allah mempunyai perasaan bangga, senang, penghargaan, dan hiburan dalam rumah tangganya.Sulit orang menggambarkan perasaan gembira, bangga, terhormat dan penuh kesenangan yang ditimbulkan karena hadirnya anak-anak yang berada dilingkungan orang tua, sehingga orang tua merasa dirinya mendapat hiburan yang positif dalam kehidupannya.

Masyarakat menyaksikan setiap hari bahwa anak menimbulkan berbagai kesulitan bagi orang tuanya, bahkan menimbulkan penderitaan yang tidak sedikit bagi mereka.Akan tetapi, mengapa kesulitan dan penderitaan yang mengiringi munculnya anak-anak ditengah orang tua mereka tidak membuat manusia jera mempunyai anak?Hal ini tidaklah dapat dimengerti atau dipahami secara materialistic, karena kerugian material yang dialami oleh orang tua dengan adanya anak-anak tidaklah sedikit; dan waktu untuk mengumpulkan materi begitu lama dan panjang liku-liku yang ditempuh.Meskipun begitu, orang tua tetap mau berkorban untuk anak-anak mereka.Untuk menalar hal semacam ini, akal kita memperoleh jalan buntu, bahkan dianggap sebagai perilaku manusia yang sangat misterius.

Harta benda juga Allah nyatakan sebagai perhiasan bagi kehidupan manusia di dunia ini.Dengan harta yang dimiliki, manusia merasa bangga, senang, terhormat, terhibur, dan terpandang ditengah masyarakatnya.Itulah sebabnya manusia sangat mencintai harta kekayaan.Karena pada harta kekayaan itulah manusia merasakan dirinya mendapatkan penghormatan tertentu.

Bila hanya harta kekayaan saja yang dimilikimaka rasa bangga dan hiburannya kurang. Sebab yang ia peroleh baru sebagian. Begitu pula bila dia hanya mendapat anak, sedang harta kekayaan tak ada, maka kebanggaan dan hiburan yang diperolehnya juga hanya sebagian saja.Akan tetapi, bila dibandingkan antara harta dan anak, maka anak lebih besar memberikan kebanggaan dan hiburan daripada harta. Hal ini disebabkan anak memiliki banyak kelebihan dibandingkan harta kekayaan, yaitu:
1.       Anak dapat diajak berkomunikasi
2.       Anak dapat melestarikan jejak orang tua
3.       Anak dapat menuntut balas terhadap orang lain yang mencelakakan orang tuanya
4.       Anak dapat meluruskan kekeliruan orang tua
5.       Anak dapat merawat orang tua bila skit atau lanjut usia



2.2        SENANG ANAK-ANAKNYA SHALIH

                   
“…Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S AL-FURQAN ; 74)

              Betapa besar rasa senang orang tua kalau anak-anaknya shalih telah digambarkan oleh Allah dalam Q.S Al-Furqan : 74. Lebih jauh lagi, orang tua mendambakan anak-anak mereka dapat menjadi pemimpin bagi orang-orang yang baik ditengah-tengah masyarakatnya.Keinginan semacam ini tidak hanya berlaku bagi diri Nabi Ibrahim saja, tetapi menyeluruh bagi semua orang tua yang hidup didunia ini.Hal ini dapat dibuktikan dari percakapan sesame orang tua.Bahkan do’a yang mereka panjatkan kepada Allah mencakup pula permohonan agar anak-anaknya dapat dijadikan sebagai tokoh-tokoh yang baik ditengah masyarakatnya.Kita sering menyaksikan perlombaan pada zaman modern ini antar para orang tua dalam memilih sekolah untuk anak-anak mereka.Mereka berebut sekolah yang terbaik atau pesantren yang terkemuka agar kelak setelah keluar dari tempat pendidikan anak-anak mereka dapat menjadi orang yang berguna ditengah masyarakatnya, syukur kalau menjadi tokoh panutan ditengah masyarakat.
             
              Sering kita dengar pernyataan penjahat yang setelah mereka menjalani hukuman penjara akibat kejahatan mereka, bahwa mereka tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejak mereka.Mereka berusaha supaya anak-anak mereka kelak menjadi orang baik.Cukuplah diri mereka saja yang mengalami perjalanan tidak baik itu. Tidak akan ada penjahat yang menginginkan anak-anaknya menjadi penjahat seperti dirinya.
             
  Dalam bergaul dengan orang lain, anak-anak perlu menjaga martabat kedua orang tuanya. Bila anak berhasil menjaga martabat kedua orang tuanya di tengah masyarakat, tentu mereka akan dicintai ibu bapaknya. Sebab anak semacam inilah yang dapat menjadi perhiasan dalam kehidupan ibu bapaknya di tengah masyarakat. Dengan cara semacam itu, tersalurkan fitrah orang tua yang menjadi fitrah pertama pada diri mereka, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.  

2.3  BERUSAHA MENEMPATKAN ANAK-ANAKNYA DI TEMPAT YANG BAIK

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata:` Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

(Q.S Ibrahim ayat 35-37)
     
              Kisah Nabi Ibrahim diatas dapat dikatakan sebagai wakil dari perasaan para orang tua di seluruh dunia dari zaman dahulu sampai kelak kemudian hari.Bagaimana sebenarnya fitrah manusia terhadap keadaan hidup anak-anaknya telah dengan jelas Allah paparkan dalam perjalanan hidup Nabi Ibrahim dengan anak dan keluarganya pada ayat diatas. Ketika Nabi Ibrahim berhijrah ke Makkah, yang waktu itu disebut lembah Bakka, tanah disana sangat tandus, air pun sulit didapat. Tempat yang demikian tandusnya membuat Nabi Ibrahim sangat prihatinatas nasib putra dan istrinya yang akan ditinggalkan ditempat itu. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar negeri Makkah yang pada waktu itu sangat kacau oleh tingkah laku bandit dan perampok dijadikan negeri aman. Untuk selanjutnya, beliau memohom agar Makkah dibersihkan dari berhala-berhala yang dijadikan sesembahan oleh manusia yang sesat pada waktu itu maupun pada masa akan datang.
     
Orang tua pun menginginkan anak-anaknya tinggal ditempat yang makmur agar dapat memberikan jaminan yang menguntungkan bagi perkembangan fisik dan mental anak, kini dan akan datang. Sudahlah jamak, jika disuatu tempat orang tua tidak ada harapan untuk menghidupi anaknya secara layak , maka mereka mencari tempat lain walaupun jauhnya tak terkira, asalkan tempat itu dapat diperoleh kemakmuran hidup secara layak.
     
Perjuangan orang tua untuk dapat memberikan kehidupan yang makmur kepada anak-anaknya merupakan pendorong bagi diri mereka untuk menciptakan berbagai sarana atau peralatan untuk mengolah tanah, membangun industri, dan lain-lain, agar dapat dinikmati oleh keturunan mereka di kemudian hari.Fitah ini mempunyai dampak luas bagi peradaban manusia.Kalau orang tua hanya berpikir egosentris tanpa mau peduli dengan nasib anak-anaknya di kemudian hari, sudah tentu dunia ini telah lama hancur.Sebab tak seorang pun anak yang masih lemah pada masa kecilnya itu dapat melindungi dirinya dari ancaman bahaya kelaparan, penyakit, dan serangan musuh. Akan tetapi, karena orang tua diberi oleh Allah fitrah untuk melindungi anak-anaknya dari segala gangguan dan ancaman pada fisik dan mental mereka serta berusaha memberikan kemakmuran kepada anak-anak mereka, maka dunia hingga kini justru memperoleh penghuni jauh lebih banyak dari 1000 tahun yang lalu. Inilah hikmah kebijakan Allah memberikan fitrah kepada tiap orang tua semangat berjuang untuk memberikan kemakmuran, keamanan, dan ketentraman bagi keturunan mereka serta bebas dari ancaman yang membahayakan mereka.
               


2.4  SEDIH MELIHAT ANAK-ANAKNYA LEMAH ATAU HIDUP MISKIN


“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.”

(Q.S Al-Baqarah : 266)

Tidak ada orang tua yang rela membiarkan anaknya lemah, secara mental atau fisik. Bila sakit, orang tua selalu berusaha untuk mengobatkannya, sekalipun dengan biaya yang mahal, karena orang tua sangat ingin anaknya serba sehat, fisik maupun mentalnya. Orang tua menyadari anak hanya akan  bisa sendiri apabila fisik dan mentalnya sehat, sehingga mampu menghadapi berbagai rintangan hidup dengan kemandirian penuh. Setiap cara yang dapat digunakan oleh orang tua untuk menjadikan anaknya sehat dan mampu mandiri, selalu ditempuhnya.

Dikala sudah lanjut usia, orang tua ingin sekali anak-anaknya mampu mengurus dirinya sendiri, baik dalam memenuhi kebutuhan materi maupun kebutuhan moral. Kesanggupan untuk dapat bergaul dengan masyarakat, sehingga anak memperoleh kemampuan untuk mendapatkan bagi kepentingan hidupnya, sangatlah diinginkan oleh orang tuanya. Karena kemampuan bergaul ditengah masyarakat membuat anak tidak bergantung pada orang tuanya dalam mengatasi segala masalah yang dihadapinya. Sebab itu, orang tua sangat menginginkan anak-anaknya sehat fisik maupun mentalnya sebagai bekal menempuh persaingan hidup di tengah masayarakat.

Bila ternyata anak lemah, secara fisik ataupun mental, sedangkan orang tua sendiri hidup tanpa memiliki harta karena bangkrut, maka orang tua menjadi semakin sedih. Lain halnya apabila dilihatnya anak-anak mampu mengatasi kehidupannya sendiri dan mental serta fisiknya sehat, maka hal ini tidak menjadikan orang tua terlalu bersedih hati walaupun kekayaan mereka habis.

Jadi, sudah selayaknya kalau orang tua memperhatikan peringatan yang tersurat pada ayat diatas agar pada saat kelapangannya, mereka memanfaatkan hidup sebaik-baiknya dengan memberikan bekal hidup kepada anak-anak mereka, baik ilmu maupun akhlak. Anak pun seharusnya mengimbanginya dengan memanfaatkan bekal yang diberikan oleh orang tuanya agar mereka dapat dibanggakan oleh orang tua mereka.  


2.5  GELISAH MENJELANG AJALNYA APABILA MENINGGALKAN ANAK-ANAKNYA YANG LEMAH

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
(Q.S An-Nisaa ayat 9)
Ayat ini berbicara tentang kehati-hatian yang harus dilakukan oleh orang-orang menjelang ajalnya dalam memberikan wasiat kepada keluarganya. Kepada mereka diperingatkan akan adanya tanggung jawab memperhatikan nasib anak-anak yang masih lemah yang ditinggalkannya. Peringatan ini pada hakikatnya menggugah fitrah orang tua yang ingin selalu memberikan perlindungan dari segala kemungkinan yang mengancam kesehatan dan keselamatan hidup anaknya. Akan tetapi banyak orang tua yang lupa akan hal ini, sehingga bertindak bertentangan dengan kepentingan anak yang ditinggalkannya yang masih dalam keadaan lemah.
Anak-anak yang masih lemah membutuhkan perlindungan dari orang dewasa dalam segala kepentingan hidup mereka. Orang dewasa yang paling dekat dengan anak-anak ini adalah ayah dan ibunya sendiri. Karenanya, kepada mereka inilah Allah tanamkan naluri tabiat melindungi anak-anak, sehingga mereka menjadi sangat sedih kalau segera meninggalkan anak-anak yang masih lemah untuk menghadapi tantangan hidupnya.
Dengan memahami fitrah orang tua semacam ini, hendaklah anak-anak menyadari bahwa kelalaian mereka yang bisa mengakibatkan ketidakmampuan mereka menjadi orang yang mandiri dalam kehidupan ini akan menimbulkan beban berat bagi orang tuanya.
Oleh sebab itu, anak harus menyadari pentingnya berlatih mandiri walaupun orang tua mereka berkecukupan membiayai kehidupan mereka. Hal ini dimaksudkan agar bila sewaktu-waktu orang tuanya menutup lembaran hidupnya, mereka tidak gelisah menghadapinya.


2.6  MEMOHONKAN PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH BAGI KEBAIKAN ANAKNYA

“Dan Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku melindungkannya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”
(Q.S Ali-Imran ; 36)
Orang tua, begitu anaknya lahir, akan memohon kepada Allah agar anaknya dijaga dari gagguan makhluk halus (setan) dan supaya terjauh dari segala yang buruk kesadaran semacam ini ada pada semua orang tua, sekalipun ia tidak beragama Islam. Sebab semua manusia mempunyai fitrah untuk mengimani Dzat Yang Maha Berkuasa atas nasib makhluk yang ada di ala mini. Manusia pun percaya bahwa ada Dzat Pengendali kehidupan manusia yang tidak terjangkau kekuasaan-Nya oleh manusia, bahkan manusia bergantung pada kehendak-Nya. Bagi orang Islam, Dzat Maha Pengendali ini adalah Allah, sedangkan bagi orang Non-Islam terdapat pengertian yang bermacam-macam. Akan tetapi, intinya mereka mempercayai adanya Dzat Mahakuasa, Maha Pengendali, Maha Penentu nasib ini.
Adanya fitrah semacam ini lebih jauh mendorong orang tua untuk selalu memohon kepada Allah agar anaknya diberi kebaikan di dunia dan di akhirat, dijauhkan dari kesengsaraan di dunia dan di akhirat, dijadikan sebagai hamba-Nya yang shalih dan di selamatkan dari godaan setan. Manusia yang tergoda oleh setan akan menghadapi malapetaka di akhirat, sekalipun di dunianya dia hidup dengan kesenangan yang semu. Apalagi kalau anak manusia sudah sejak kecil terbawa arus setan, maka malapetaka yang dihadapinya didunia ini mungkin sekali sudah ia rasakan. Contohnya, anak yang sejak kecil terbiasa dengan ganja, minuman keras, judi, dan pelacuran. Di dunia ini saja mereka sudah mengalami ketegangan dan rasa tidak aman yang tinggi. Lebih-lebih mereka yang mengidap kecanduan narkotik, hidup di dunia pun sudah susah. Hal semacam inilah yang sejak awal di sadari oleh nabi Zakaria agar anaknya dijauhkan oleh Allah dari gangguan setan itu. Karena itu setiap orang tua, terutama yang beragama Islam, selalu berwasiat kepada anaknya tentang bahaya gangguan setan bagi kehidupan mereka di dunia maupun di akhirat. Anak  hendaknya menyadari bahwa nasehat orang tua semacam ini dimaksudkan untuk menjauhkan dirinya dari malapetaka hidup di dunia dan di akhirat.  


2.7   LEBIH MEMIKIRKAN KESELAMATAN ANAK DARIPADA DIRINYA PADA SAAT TERJADI BENCANA


Pada Q.S Huud Ayat 42-43, 45-46, menceritakan hal-ihwal di akhirat. Pada saat diadakan pengadilan di padang Mahsyar, semua manusia memikirkan nasib dirinya sendiri-sendiri. Pada saat itu tidak ada orang yang mampu membantu orang lain. Karena itu hubungan saudara, orang tua, suami, istri, dan anak tidak terpikirkan lagi, sebab setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri. Akan tetapi bila kemudian ia selamat dari hukuman karena timbangan amalnya baik, maka yang terpikir olehnya ialah keinginan untuk menyelamatkan anaknya. Kisah Nabi Nuh dan putranya merupakan contoh abadi adanya prioritas usaha orang tua menyelamatkan anaknya dari bahaya ketika orang tua selamat dari bahaya itu sendiri.
Kisah di atas tegas mengisahkan kejadian yang sangat manusiawi. Ketika orang tua melihat bahaya menimpa anaknya, maka mereka berusaha sekuat tenaga menyelamatkan anaknya agar dapat berkumpul kembali dengan dirinya. Kegigihan orang tua menyelamatkan anaknya  ini disertai dengan do’a kepada Allah, memohon agar Allah menyelamatkan anaknya dari bahaya akibat dari perbuatan dosanya sendiri, walaupun hal yang ia minta itu tidak patut ia lakukan. Akan tetapi, karena dorongan fitrahnya untuk mengutamakan anaknya dari yang lain, maka Nabi Nuh tidak malu minta kepada Allah agar anaknya yang berada dipihak orang-orang yang dhalim itu Allah selamatkan dari seiksa dan bencana.
Adanya fitrah semacam inilah yang dapat membuat anak-anak merasa memperoleh perlindungan dalam kehidupan ini dari bencana yang akan menimpanya. Berkenaan dengan keadaan akhirat yang telah dikemukakan pada ayat tersebut di atas, bahwa bila seorang ayah ataupun seorang ibu berada dalam bencana, kemudian dirinya dapat selamat maka yang pertama ia pikirkan ialah nasib anak-anaknya. Karena itu, anak-anak harus menyadari bahwa adanya fitrah yang Allah tanamkan pada diri orang tua mereka untuk memikirkan dan mengupayakan keselamatan anak lebih dahulu daripada yang lain, dapat menjadikan anak-anak memperoleh perlidungan dari orang tuanya guna menempuh kehidupan manusia secara baik pada hari-hari berikutnya. Adanya fitrah ini pula yang membuat anak-anak tentram di bawah naungan orang tuanya, sehingga perkembangan mental dan fisik anak terjaga dengan baik.     


2.8  SENANG MEMPUNYAI ANAK YANG BISA DIBANGGAKAN

“Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa),
Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka?Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”  (Q.S Al-Mukminun ayat 54-56)

             
Di dunia ini Allah telah memberi karunia kepada manusia berupa kebutuhan-kebutuhan dasar yang menunjang kelangsungan hidupnnya dan menjadi hiburan menjadi diri mereka. Harta merupakan penunjang bagi manusia untuk melestarikan umurnya sampai saat yang di kehendaki Allah, sedangkan anak-anak. Allah karuniakan kepada manusia sebagai perhiasan dan kebanggaan. Karena itu, orang tua yang mendapatkan harta yang cukup dan anak-anak yang baik, fisik maupun mentalnya, akan memperoleh kebanggaan dalam diri mereka. Bagi orang tua yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, anak-anak yang menyenangkan tidaklah di ukur dengan keshalihannya dalam beragama, tetapi keberhasilan kehidupannya di dunia secara materi. Mungkin saja anak menjadi kaya atau menjadi pejabat atau menjadi tokoh masyarakat. Atau ringkasnya, menjadi orang yang mempunyai posisi ditengah masyarakatnya.

Dalam kehidupan sehari-hari kita mendapat fakta, bagaimana para orang tua berpesan kepada anak-anaknya agar mereka dapat menjadi orang-orang yang sukses di mata masyarakat dan menjadi buah bibir yang dapat di banggakan oleh keluarga dan sanak yang lain. Sebab anak yang bisa menjadi kebanggaan hati orang tua di tengah masyarakat, berarti mereka telah berbakti kepada orang tuanya. Orang tua semacam ini tidak hanya menuntut anak-anaknya berbakti kepada mereka ketika di rumah saja, tetapi juga menuntut anaknya mengharumkan nama orang tua di tengah masyarakat dengan prestasi yang dapat di banggakan oleh masyarakat. Perasaan semacam ini adalah fitrah yang Allah tanamkan pada orang tua. Akan tetapi, fitrah semacam ini pada orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat ditampilkan secara salah seperti yang Allah sinyalir dalam firman-Nya yang kita kutip diatas. Letak kesalahan mereka ialah melihat anak hanya semata-mata sebagai perhiasan duniawi bagi orang tuanya tanpa mau peduli dengan upaya pembekalan diri bagi kehidupan di akhirat untuk orang tua maupun anaknya. Sebab bagaimana pun prestasi anak di dunia ini, ia tidak akan dapat menyelamatkan orang tuanya dari adzab Allah kalau dia dan anaknya tidak beriman, bertaqwa, dan beramal shalih.
Penting bagi anak memahami fitrah orang tua semacam ini agar anak selalu dapat berusaha untuk berbakti kepada orang tua dan berprestasi dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Anak yang dapat melaksanakan tugas-tugas ini berarti telah membuat hati orang tua mereka tenang dan tentram.   
 


2.9     SANGAT SEDIH BILA ANAKNYA CELAKA ATAU MENDERITA

“Dan Yaqub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: `Aduhai duka citaku terhadap Yusuf`, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).”
(Q.S Yusuf ayat 84)

Kadar kesedihan orang tua karena anaknya celaka atau menderita tentunya berbeda-beda. Hal ini tergantung pada dangkal dan dalamnya kecintaan orang tua terhadap anak yang bersangkutan. Semakin dalam cinta kepada anaknya, semakin berat pula rasa sedih yang diderita oleh orang tua bila anaknya celaka atau menderita. Kadar kecintaan orang tua kepada anak-anaknya todaklah sama. Hal ini tidaklah menyalahi agama selama tidak di wujudkan secara pilih kasih dalam memberikan hal-hal yang bersifat material kepada anak-anaknya. Allah juga tidak melarang orang tua mencintai anak-anaknya dengan kadar yang tak sama. Karena rasa cinta adalah hal ghaib. Manusia tidak mampu menguasainya. Karena itu, orang tua tidak disalahkan sekedar mencintai anaknya lebih daripada anaknya yang lain.
Rasa sedih orang tua ketika anaknya celaka atau menderita dialami oleh semua orang tua, karena orang tua merasa bertanggung jawab atas nasib anaknya. Selain itu, orang tua merasa bahwa anak-anaknya adalah milik mereka yang paling berharga. Tidak ada kekayaan di dunia ini yang lebih berharga bagi orang tua, kecuali anak-anaknya. Selain itu, anak tidaklah dapat diusahakan memperolehnya dengan cara-cara yang berlaku pada pembuatan barang. Kesadaran akan beratnya dan sulitnya mendapatkan anak, membuat orang tua semakin menyadari nilai anak bagi kehidupan mereka; juga karena anak ini menjadi penghibur dan penerus keturunan mereka di kemudian hari. Inilah salah satu faktor yang membuat orang tua merasa sangat berat kehilangan anak-anaknya.
Anak haruslah menyadari fitrah orang tuanya ini agar anak-anak dapat menjaga diri supaya tidak mengalami kecelakaan dan hidup sembrono, yang menyebabkan menderita. Jika orang tua pada suatu saat mengingatkan anak-anaknya agar menjauhi sesuatu yang dapat menimbulkan malapetaka atau kerugian bagi diri anak, hal itu adalah muncul dari rasa memiliki yang dalam pada diri orang tuanya. Karena itu, anak harus senantiasa memperhatikan nasehat, petunjuk, dan bimbingan orang tuanya dalam kehidupan ini agar ia dapat menempuh kehidupan dengan baik. Sudah tentu bimbingan, petunjuk, dan nasehat itu harus sejalan dengan syari’at Allah sendiri.     


2.10 BERSABAR MENGAHDAPI PERILAKU BURUK ANAKNYA

“Mereka berkata: `Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.`
Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Yaqub berkata: `Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.`” (Q.S Yusuf ayat 17-18)

Kelakuan buruk anak dapat menyeret orang tuanya kedalam keadaan yang merugikan, sedikitnya kerugian nama baik. Keadaan orang tua yang nama baiknya dicemarkan oleh anaknya di mata orang lain merupakan penderitaan batin baginya. Akan tetapi, biasanya orang tua menghadapinya dengan sabar. Pertama, ia akan menasehati anaknya; kedua, memperingatkannya dengan keras. Jika langkah ini tidak berhasil, maka orang tua akan bersikap acuh tak acuh dan membiarkan anaknya. Jarang orang tua yang menghukum anaknya seperti menghukum orang lain karena perilaku buruknya.
Sifat sabar yang ada pada orang tua dalam menghadapi perilaku buruk anak berpangkal pada fitrah keinginan orang tua agar anaknya dapat melangsungkan hidupnya di kemudian hari lebih baik daripada dirinya sendiri. Mereka mempunyai harapan besar adanya perubahan anaknya pada masa depan. Hal inilah yang mendorong orang tua bersikap sabar menghadapi perilaku buruk anaknya. Harapan ini ada kalanya terkabul, tetapi tidak sedikit yang sia-sia. Walaupun orang tua menyadari belum tentu harapan baik kepada anaknya itu terkabul, tetapi mereka tetap saja bersabar.

Islam tidak melarang orang tua bersabar menghadapi perilaku buruk anaknya tanpa menjatuhkan hukuman apa pun. Sebab contoh semacam itu telah dilakukan oleh ketiga Nabi Allah. Namun perlu di ingat bahwa pada saat itu belum ada ketentuan hukum bunuh atas orang yang membunuh. Oleh karena itu, Nabi Adam menyerahkan perkara Qabil kepada Allah. Setelah syari’at Islam tegas menentukan hukuman atas perilaku buruk tertentu, maka orang tua muslim wajib mengindahkan hal ini.

Para anak harus menyadari fitrah sabar orang tua ini. Jika diantara saudaranya dibiarkan berperilaku buruk oleh orang tuanya, maka dia tidak boleh memprotes atau memaksa orang tuanya bertindak sesuatu terhadap saudaranya itu. Karena anak tidak bisa merasakan betapa berat orang tua menindak anaknya yang bersalah. Bahkan sering kali orang tua menjadi serba salah menentukan sikap. Kebimbangan semacam ini dapat memicu anak untuk berperilaku lebih buruk. Karena itu, orang tua dapat bermusyawarah dengan anak-anaknya yang lain untuk mengatasi perilaku buruk salah seorang anaknya itu. Sebaliknya, anak-anak harus pula menyadari bahwa orang tuanya tidak bisa bertindak dengan cepat terhadap anak yang berkelakuan buruk itu. Banyak perasaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan cepat tersebut. Perasaan-perasaan ini tidak bisa dihayati oleh anak. Jadi, ada perbedaan penghayatan masalah antara orang tua dan anak. Sebaiknya para anak memberikan kesempatan kepada orang tua untuk berfikir dan merenung. Anak tidak boleh memaksakan cara penyelesaiannya kepada orang tuanya. 





BAB III
Penutup

3.1       Kesimpulan
            Orang tua diberikan sifat-sifat fitrah yang tersebut oleh Allah agar manusia tidak punah, kerena jika orang tua tidak memiliki sifat fitrah ataupun rasa sayang terhadap anaknya, sudah lama  dunia ini telah hancur. Berkat perjuangan orang tua jugalah sehingga kita dapat tumbuh dewasa dan berkepribadian yang baik seperti ini.
            Orang tua menganggap anak seperti perhiasan dan harta yang sangat berharga, bahkan lebih dari itu, orang tua lebih rela kehilangan harta kekayaan daripada harus kehilangan anak. Mereka rela melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya, mereka juga selalu sabar dalam merawat dan menjaga kita sebagai anaknya, dan akan selalu memaafkan kesalahan anaknya meskipun anak tersebut telah mencoreng nama baik keluarga.
Oleh karena itu kita sebagai anak harus bisa  menjaga martabat kedua orang tua. Bila anak berhasil menjaga martabat kedua orang tuanya di tengah masyarakat, tentu mereka akan dicintai ibu bapaknya. Sebab anak semacam inilah yang dapat menjadi perhiasan dalam kehidupan ibu bapaknya di tengah masyarakat.
               
3.2       Saran
            Pada kesempatan kali ini penulis ingin memberikan saran bahwa sebaiknya kita sebagai anak bisa memahami sifat fitrah orang tua dan memahami apa yang menjadi keinginannya, karena kelak kita pun akan menjadi orang tua. Sebagai anak juga kita harus bisa membuat orang tua bangga dan bahagia, jangan sampai orang tua menjadi kecewa karena kita tidak bisa melakukan yang terbaik untuk orang tua kita.



             









0 komentar:

Posting Komentar