Lembar
Pengesahan
Karya tulis ini sudah diperiksa dan
disahkan oleh guru pembimbing Bahasa Indonesia
Ibu Nunung Nurhayati
Siswi
Cici Emilia Sukmawati
NIS : 091010064
Guru
Pembimbing
Ibu Nunung Nurhayati
NIP : .
13188612
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum
Wr.Wb.
Puji Syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Karunia, Hidayah
dan Inayah-Nya, sehingga karya
tulis ilmiah ini sudah selesai kami teliti dan kami jadikan satu bukti tulisan sederhana yang mungkin
dapat berguna bagi penerus kami.
Dalam keterbatasan
data, waktu serta kemampuan, kami menyadari bahwa makalah ini masih perlu
disempurnakan kembali. Oleh karena itu kami membutuhkan saran dan kritik dari
semua pembaca dan terutama Guru Bahasa
Indonesia kami Ibu Nunung Nurhayati.
Mudah-mudahan buku ini
berguna di kemudian hari kelak. Kepada semua pihak yang telah bersangkutan
dalam makalah ini, kami mengucapkan trimakasih yang sebesar-besarnya.
Wassalamu’alaikum Wr.
Wb.
Karawang, Februari 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sifat-sifat fitrah orang
tua ini barang kali tanpa dikemukakan dalam karya tulis ini pun telah terasakan
dalam diri orang tua. Orang tua zaman kuno atau orang tua zaman modern, orang
tua pedesaan atau orang tua metropolitan semua menyadarinya. Jadi, karya tulis ini
ditampilkan hanyalah sekedar menghidupkan kesadaran para orang tua di satu pihak,
dan anak-anak di pihak lain. Diharapkan agar para anak memperoleh rujukan yang
jelas tentang sifat-sifat fitrah orang tuanya secara universal, sehingga anak dapat
memahami dan menyadari perasaan-perasaan terdalam orang tuanya dalam berhubungan
dengan anak-anaknya. Selanjutnya, diharapkan para anak berperilaku sesuai dengan
perasaan-perasaan fitrah orang tuanya.
Maksud lebih jauh dari penyajian
karyatulis ini adalah agar kita bersama-sama belajar tentang kaidah-kaidah hubungan
orang tua dan anak didasarkan pada sifat-sifat fitrah ini. Baik bagi anak maupun
orang tua, memahami sifat-sifat fitrah itu
akan memudahkan melakukan paergaulan dan komunikasi yang saling melegakan. Sebaliknya, orang tua diperintahkan
menjadikan anak-anaknya itu baik. Dengan mengetahui sifat-sifat fitrah tersebut,
maka komunikasi diharapkan dapat dilakukan.
1.2
Tujuan
Dalam setiap karya ilmiah
pastilah penulis memiliki tujuan tertentu, mengapa penulis memilih judul tersebut sebagai
bahan penulisannya. Adapun tujuan itu sebagai berikut :
1.
Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa
Indonesia
2.
Agar terjalin hubungan baik antara orang tua dan
anak
3.
Lebih memahami sifat dan keinginan orang tua
4.
Lebih mencintai orang tua baik secara lahir
maupun batin
5.
Lebih menjaga dan menjalin komunikasi yang lebih
baik lagi antara orang tua dan anak
1.3
Identifikasi Masalah
Sifat fitrah orang tua
adalah sifat yang melekat pada setiap diri orang tua, dimana sifat tersebut
hanya ada secara alamiah dalam diri orang tua yang telah memiliki keturunan.
Sifat yang tersebut tidak dapat dibuat sendiri. Dengan bersama-sama mempelajari
sifat fitrah orang tua ini, kita bisa memahami apa yang harus kita lakukan dan
bagaimana seharusnya berbakti kepada orang tua.
1.4
Pembatasan Masalah
Dalam penulisan karya tulis
ini penulis membatasi apa saja yang dijelaskan dalam buku ini diantaranya adalah
:
·
Apa saja sifat fitrah orang tua itu?
·
Bagaimana memahami sifat fitrah orang tua ?
·
Mengapa orang tua memiliki sifat fitrah tersebut
?
·
Apa saja yang harus dilakukan anak terhadap
sifat fitrah orang tua?
1.5
Metode Penulisan
Metode
Literatur :
Sistem
pengumpulan data dengan cara membaca buku dan mencari di internet
BAB II
BAHASAN
2.1 SENANG MEMPUNYAI ANAK
“Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”(*Q.S
AL-KAHFI :46)
Allah menggunakan
kata-kata perhiasan (زِينَØ©ُ) untuk
menggambarkan keberadaan anak bagi orang tuanya. Apakah sebenarnya
perhiasan itu? Emas dan perak dikenal manusia sebagai perhiasan, karena
benda-benda tersebut memberikan keindahan kalau dilihat, rasa kebanggaan bagi
yang memiliki, dan kesenangan yang dapat ditonjolkan kepada orang lain, serta
memberikan penghargaan dan penghormatan bagi pemiliknya.
Pasangan suami
istri yang memperoleh karunia anak dari Allah mempunyai perasaan bangga,
senang, penghargaan, dan hiburan dalam rumah tangganya.Sulit orang
menggambarkan perasaan gembira, bangga, terhormat dan penuh kesenangan yang
ditimbulkan karena hadirnya anak-anak yang berada dilingkungan orang tua,
sehingga orang tua merasa dirinya mendapat hiburan yang positif dalam
kehidupannya.
Masyarakat
menyaksikan setiap hari bahwa anak menimbulkan berbagai kesulitan bagi orang
tuanya, bahkan menimbulkan penderitaan yang tidak sedikit bagi mereka.Akan
tetapi, mengapa kesulitan dan penderitaan yang mengiringi munculnya anak-anak
ditengah orang tua mereka tidak membuat manusia jera mempunyai anak?Hal ini
tidaklah dapat dimengerti atau dipahami secara materialistic, karena kerugian
material yang dialami oleh orang tua dengan adanya anak-anak tidaklah sedikit;
dan waktu untuk mengumpulkan materi begitu lama dan panjang liku-liku yang
ditempuh.Meskipun begitu, orang tua tetap mau berkorban untuk anak-anak
mereka.Untuk menalar hal semacam ini, akal kita memperoleh jalan buntu, bahkan
dianggap sebagai perilaku manusia yang sangat misterius.
Harta benda juga
Allah nyatakan sebagai perhiasan bagi kehidupan manusia di dunia ini.Dengan
harta yang dimiliki, manusia merasa bangga, senang, terhormat, terhibur, dan
terpandang ditengah masyarakatnya.Itulah sebabnya manusia sangat mencintai
harta kekayaan.Karena pada harta kekayaan itulah manusia merasakan dirinya
mendapatkan penghormatan tertentu.
Bila hanya harta
kekayaan saja yang dimilikimaka rasa bangga dan hiburannya kurang. Sebab yang
ia peroleh baru sebagian. Begitu pula bila dia hanya mendapat anak, sedang
harta kekayaan tak ada, maka kebanggaan dan hiburan yang diperolehnya juga
hanya sebagian saja.Akan tetapi, bila dibandingkan antara harta dan anak, maka
anak lebih besar memberikan kebanggaan dan hiburan daripada harta. Hal ini
disebabkan anak memiliki banyak kelebihan dibandingkan harta kekayaan, yaitu:
1.
Anak dapat diajak berkomunikasi
2.
Anak dapat melestarikan jejak orang tua
3.
Anak dapat menuntut balas terhadap orang lain
yang mencelakakan orang tuanya
4.
Anak dapat meluruskan kekeliruan orang tua
5.
Anak dapat merawat orang tua bila skit atau
lanjut usia
2.2 SENANG ANAK-ANAKNYA SHALIH
“…Wahai
Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami
penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Q.S AL-FURQAN ; 74)
Betapa besar rasa senang orang tua
kalau anak-anaknya shalih telah digambarkan oleh Allah dalam Q.S Al-Furqan :
74. Lebih jauh lagi, orang tua mendambakan anak-anak mereka dapat menjadi
pemimpin bagi orang-orang yang baik ditengah-tengah masyarakatnya.Keinginan
semacam ini tidak hanya berlaku bagi diri Nabi Ibrahim saja, tetapi menyeluruh
bagi semua orang tua yang hidup didunia ini.Hal ini dapat dibuktikan dari
percakapan sesame orang tua.Bahkan do’a yang mereka panjatkan kepada Allah
mencakup pula permohonan agar anak-anaknya dapat dijadikan sebagai tokoh-tokoh
yang baik ditengah masyarakatnya.Kita sering menyaksikan perlombaan pada zaman
modern ini antar para orang tua dalam memilih sekolah untuk anak-anak
mereka.Mereka berebut sekolah yang terbaik atau pesantren yang terkemuka agar
kelak setelah keluar dari tempat pendidikan anak-anak mereka dapat menjadi orang
yang berguna ditengah masyarakatnya, syukur kalau menjadi tokoh panutan
ditengah masyarakat.
Sering kita dengar pernyataan
penjahat yang setelah mereka menjalani hukuman penjara akibat kejahatan mereka,
bahwa mereka tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejak mereka.Mereka berusaha
supaya anak-anak mereka kelak menjadi orang baik.Cukuplah diri mereka saja yang
mengalami perjalanan tidak baik itu. Tidak akan ada penjahat yang menginginkan
anak-anaknya menjadi penjahat seperti dirinya.
Dalam bergaul dengan orang lain, anak-anak
perlu menjaga martabat kedua orang tuanya. Bila anak berhasil menjaga martabat
kedua orang tuanya di tengah masyarakat, tentu mereka akan dicintai ibu
bapaknya. Sebab anak semacam inilah yang dapat menjadi perhiasan dalam
kehidupan ibu bapaknya di tengah masyarakat. Dengan cara semacam itu,
tersalurkan fitrah orang tua yang menjadi fitrah pertama pada diri mereka,
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
2.3 BERUSAHA MENEMPATKAN ANAK-ANAKNYA DI TEMPAT YANG BAIK
“Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim berkata:` Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang
aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
Ya Tuhanku,
sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia,
maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau,
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya
Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah
hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
(Q.S Ibrahim ayat 35-37)
Kisah
Nabi Ibrahim diatas dapat dikatakan sebagai wakil dari perasaan para orang tua
di seluruh dunia dari zaman dahulu sampai kelak kemudian hari.Bagaimana
sebenarnya fitrah manusia terhadap keadaan hidup anak-anaknya telah dengan
jelas Allah paparkan dalam perjalanan hidup Nabi Ibrahim dengan anak dan
keluarganya pada ayat diatas. Ketika Nabi Ibrahim berhijrah ke Makkah, yang
waktu itu disebut lembah Bakka, tanah disana sangat tandus, air pun sulit
didapat. Tempat yang demikian tandusnya membuat Nabi Ibrahim sangat
prihatinatas nasib putra dan istrinya yang akan ditinggalkan ditempat itu. Oleh
karena itu, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar negeri Makkah yang pada
waktu itu sangat kacau oleh tingkah laku bandit dan perampok dijadikan negeri
aman. Untuk selanjutnya, beliau memohom agar Makkah dibersihkan dari
berhala-berhala yang dijadikan sesembahan oleh manusia yang sesat pada waktu
itu maupun pada masa akan datang.
Orang tua pun
menginginkan anak-anaknya tinggal ditempat yang makmur agar dapat memberikan
jaminan yang menguntungkan bagi perkembangan fisik dan mental anak, kini dan
akan datang. Sudahlah jamak, jika disuatu tempat orang tua tidak ada harapan
untuk menghidupi anaknya secara layak , maka mereka mencari tempat lain
walaupun jauhnya tak terkira, asalkan tempat itu dapat diperoleh kemakmuran
hidup secara layak.
Perjuangan orang tua
untuk dapat memberikan kehidupan yang makmur kepada anak-anaknya merupakan
pendorong bagi diri mereka untuk menciptakan berbagai sarana atau peralatan
untuk mengolah tanah, membangun industri, dan lain-lain, agar dapat dinikmati
oleh keturunan mereka di kemudian hari.Fitah ini mempunyai dampak luas bagi
peradaban manusia.Kalau orang tua hanya berpikir egosentris tanpa mau peduli
dengan nasib anak-anaknya di kemudian hari, sudah tentu dunia ini telah lama
hancur.Sebab tak seorang pun anak yang masih lemah pada masa kecilnya itu dapat
melindungi dirinya dari ancaman bahaya kelaparan, penyakit, dan serangan musuh.
Akan tetapi, karena orang tua diberi oleh Allah fitrah untuk melindungi
anak-anaknya dari segala gangguan dan ancaman pada fisik dan mental mereka
serta berusaha memberikan kemakmuran kepada anak-anak mereka, maka dunia hingga
kini justru memperoleh penghuni jauh lebih banyak dari 1000 tahun yang lalu.
Inilah hikmah kebijakan Allah memberikan fitrah kepada tiap orang tua semangat
berjuang untuk memberikan kemakmuran, keamanan, dan ketentraman bagi keturunan
mereka serta bebas dari ancaman yang membahayakan mereka.
2.4 SEDIH MELIHAT ANAK-ANAKNYA LEMAH ATAU HIDUP MISKIN
“Apakah ada salah
seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan,
kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang
masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu
terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya
kamu memikirkannya.”
(Q.S Al-Baqarah :
266)
Tidak ada orang tua
yang rela membiarkan anaknya lemah, secara mental atau fisik. Bila sakit, orang
tua selalu berusaha untuk mengobatkannya, sekalipun dengan biaya yang mahal,
karena orang tua sangat ingin anaknya serba sehat, fisik maupun mentalnya.
Orang tua menyadari anak hanya akan bisa
sendiri apabila fisik dan mentalnya sehat, sehingga mampu menghadapi berbagai
rintangan hidup dengan kemandirian penuh. Setiap cara yang dapat digunakan oleh
orang tua untuk menjadikan anaknya sehat dan mampu mandiri, selalu ditempuhnya.
Dikala sudah lanjut
usia, orang tua ingin sekali anak-anaknya mampu mengurus dirinya sendiri, baik
dalam memenuhi kebutuhan materi maupun kebutuhan moral. Kesanggupan untuk dapat
bergaul dengan masyarakat, sehingga anak memperoleh kemampuan untuk mendapatkan
bagi kepentingan hidupnya, sangatlah diinginkan oleh orang tuanya. Karena
kemampuan bergaul ditengah masyarakat membuat anak tidak bergantung pada orang
tuanya dalam mengatasi segala masalah yang dihadapinya. Sebab itu, orang tua
sangat menginginkan anak-anaknya sehat fisik maupun mentalnya sebagai bekal
menempuh persaingan hidup di tengah masayarakat.
Bila ternyata anak
lemah, secara fisik ataupun mental, sedangkan orang tua sendiri hidup tanpa
memiliki harta karena bangkrut, maka orang tua menjadi semakin sedih. Lain
halnya apabila dilihatnya anak-anak mampu mengatasi kehidupannya sendiri dan
mental serta fisiknya sehat, maka hal ini tidak menjadikan orang tua terlalu
bersedih hati walaupun kekayaan mereka habis.
Jadi, sudah
selayaknya kalau orang tua memperhatikan peringatan yang tersurat pada ayat
diatas agar pada saat kelapangannya, mereka memanfaatkan hidup sebaik-baiknya
dengan memberikan bekal hidup kepada anak-anak mereka, baik ilmu maupun akhlak.
Anak pun seharusnya mengimbanginya dengan memanfaatkan bekal yang diberikan
oleh orang tuanya agar mereka dapat dibanggakan oleh orang tua mereka.
2.5 GELISAH MENJELANG AJALNYA APABILA MENINGGALKAN ANAK-ANAKNYA YANG LEMAH
“Dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.”
(Q.S An-Nisaa ayat 9)
Ayat ini berbicara tentang
kehati-hatian yang harus dilakukan oleh orang-orang menjelang ajalnya dalam
memberikan wasiat kepada keluarganya. Kepada mereka diperingatkan akan adanya tanggung jawab memperhatikan nasib anak-anak
yang masih lemah yang ditinggalkannya. Peringatan ini pada hakikatnya
menggugah fitrah orang tua yang ingin selalu memberikan perlindungan dari
segala kemungkinan yang mengancam kesehatan dan keselamatan hidup anaknya. Akan
tetapi banyak orang tua yang lupa akan hal ini, sehingga bertindak bertentangan
dengan kepentingan anak yang ditinggalkannya yang masih dalam keadaan lemah.
Anak-anak yang masih lemah membutuhkan
perlindungan dari orang dewasa dalam segala kepentingan hidup mereka. Orang
dewasa yang paling dekat dengan anak-anak ini adalah ayah dan ibunya sendiri.
Karenanya, kepada mereka inilah Allah
tanamkan naluri tabiat melindungi anak-anak, sehingga mereka menjadi sangat
sedih kalau segera meninggalkan anak-anak yang masih lemah untuk menghadapi
tantangan hidupnya.
Dengan memahami fitrah orang tua
semacam ini, hendaklah anak-anak menyadari bahwa kelalaian mereka yang bisa
mengakibatkan ketidakmampuan mereka menjadi orang yang mandiri dalam kehidupan
ini akan menimbulkan beban berat bagi orang tuanya.
Oleh sebab itu, anak harus menyadari
pentingnya berlatih mandiri walaupun orang tua mereka berkecukupan membiayai
kehidupan mereka. Hal ini dimaksudkan agar bila sewaktu-waktu orang tuanya
menutup lembaran hidupnya, mereka tidak gelisah menghadapinya.
2.6 MEMOHONKAN PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH BAGI KEBAIKAN ANAKNYA
“Dan Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku
melindungkannya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau
daripada syaitan yang terkutuk.”
(Q.S Ali-Imran ; 36)
Orang tua, begitu anaknya lahir, akan memohon kepada
Allah agar anaknya dijaga dari gagguan makhluk halus (setan) dan supaya terjauh
dari segala yang buruk kesadaran semacam ini ada pada semua orang tua,
sekalipun ia tidak beragama Islam. Sebab semua manusia mempunyai fitrah untuk
mengimani Dzat Yang Maha Berkuasa atas nasib makhluk yang ada di ala mini.
Manusia pun percaya bahwa ada Dzat Pengendali kehidupan manusia yang tidak
terjangkau kekuasaan-Nya oleh manusia, bahkan manusia bergantung pada
kehendak-Nya. Bagi orang Islam, Dzat Maha Pengendali ini adalah Allah,
sedangkan bagi orang Non-Islam terdapat pengertian yang bermacam-macam. Akan
tetapi, intinya mereka mempercayai adanya Dzat Mahakuasa, Maha Pengendali, Maha
Penentu nasib ini.
Adanya fitrah semacam ini lebih jauh mendorong orang
tua untuk selalu memohon kepada Allah agar anaknya diberi kebaikan di dunia dan
di akhirat, dijauhkan dari kesengsaraan di dunia dan di akhirat, dijadikan
sebagai hamba-Nya yang shalih dan di selamatkan dari godaan setan. Manusia yang
tergoda oleh setan akan menghadapi malapetaka di akhirat, sekalipun di dunianya
dia hidup dengan kesenangan yang semu. Apalagi kalau anak manusia sudah sejak
kecil terbawa arus setan, maka malapetaka yang dihadapinya didunia ini mungkin
sekali sudah ia rasakan. Contohnya, anak yang sejak kecil terbiasa dengan
ganja, minuman keras, judi, dan pelacuran. Di dunia ini saja mereka sudah
mengalami ketegangan dan rasa tidak aman yang tinggi. Lebih-lebih mereka yang
mengidap kecanduan narkotik, hidup di dunia pun sudah susah. Hal semacam inilah
yang sejak awal di sadari oleh nabi Zakaria agar anaknya dijauhkan oleh Allah
dari gangguan setan itu. Karena itu setiap orang tua, terutama yang beragama
Islam, selalu berwasiat kepada anaknya tentang bahaya gangguan setan bagi
kehidupan mereka di dunia maupun di akhirat. Anak hendaknya menyadari bahwa
nasehat orang tua semacam ini dimaksudkan untuk menjauhkan dirinya dari
malapetaka hidup di dunia dan di akhirat.
2.7 LEBIH MEMIKIRKAN KESELAMATAN ANAK
DARIPADA DIRINYA PADA SAAT TERJADI BENCANA
Pada Q.S Huud Ayat
42-43, 45-46, menceritakan hal-ihwal di akhirat. Pada saat diadakan pengadilan
di padang Mahsyar, semua manusia memikirkan nasib dirinya sendiri-sendiri. Pada
saat itu tidak ada orang yang mampu membantu orang lain. Karena itu hubungan
saudara, orang tua, suami, istri, dan anak tidak terpikirkan lagi, sebab setiap
orang sibuk dengan urusannya sendiri. Akan tetapi bila kemudian ia selamat dari
hukuman karena timbangan amalnya baik, maka yang terpikir olehnya ialah
keinginan untuk menyelamatkan anaknya. Kisah Nabi Nuh dan putranya merupakan
contoh abadi adanya prioritas usaha orang tua menyelamatkan anaknya dari bahaya
ketika orang tua selamat dari bahaya itu sendiri.
Kisah di atas
tegas mengisahkan kejadian yang sangat manusiawi. Ketika orang tua melihat
bahaya menimpa anaknya, maka mereka berusaha sekuat tenaga menyelamatkan
anaknya agar dapat berkumpul kembali dengan dirinya. Kegigihan orang tua
menyelamatkan anaknya ini disertai
dengan do’a kepada Allah, memohon agar Allah menyelamatkan anaknya dari bahaya
akibat dari perbuatan dosanya sendiri, walaupun hal yang ia minta itu tidak
patut ia lakukan. Akan tetapi, karena dorongan fitrahnya untuk mengutamakan
anaknya dari yang lain, maka Nabi Nuh tidak malu minta kepada Allah agar
anaknya yang berada dipihak orang-orang yang dhalim itu Allah selamatkan dari
seiksa dan bencana.
Adanya fitrah semacam
inilah yang dapat membuat anak-anak
merasa memperoleh perlindungan dalam kehidupan ini dari bencana yang akan
menimpanya. Berkenaan dengan keadaan akhirat yang telah dikemukakan pada ayat
tersebut di atas, bahwa bila seorang ayah ataupun seorang ibu berada dalam
bencana, kemudian dirinya dapat selamat maka yang pertama ia pikirkan ialah
nasib anak-anaknya. Karena itu, anak-anak harus menyadari bahwa adanya fitrah
yang Allah tanamkan pada diri orang tua mereka untuk memikirkan dan
mengupayakan keselamatan anak lebih dahulu daripada yang lain, dapat menjadikan anak-anak memperoleh perlidungan
dari orang tuanya guna menempuh kehidupan manusia secara baik pada
hari-hari berikutnya. Adanya fitrah ini pula yang membuat anak-anak tentram di bawah naungan orang tuanya, sehingga
perkembangan mental dan fisik anak terjaga dengan baik.
2.8 SENANG MEMPUNYAI ANAK YANG BISA DIBANGGAKAN
“Maka
biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.
Apakah mereka mengira bahwa harta dan
anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa),
Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan
kepada mereka?Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Q.S Al-Mukminun ayat 54-56)
Di dunia ini
Allah telah memberi karunia kepada manusia berupa kebutuhan-kebutuhan dasar
yang menunjang kelangsungan hidupnnya dan menjadi hiburan menjadi diri mereka.
Harta merupakan penunjang bagi manusia untuk melestarikan umurnya sampai saat
yang di kehendaki Allah, sedangkan anak-anak. Allah karuniakan kepada manusia
sebagai perhiasan dan kebanggaan. Karena itu, orang tua yang mendapatkan harta
yang cukup dan anak-anak yang baik, fisik maupun mentalnya, akan memperoleh
kebanggaan dalam diri mereka. Bagi orang tua yang tidak beriman kepada Allah
dan hari akhirat, anak-anak yang menyenangkan tidaklah di ukur dengan
keshalihannya dalam beragama, tetapi keberhasilan kehidupannya di dunia secara
materi. Mungkin saja anak menjadi kaya atau menjadi pejabat atau menjadi tokoh
masyarakat. Atau ringkasnya, menjadi orang yang mempunyai posisi ditengah
masyarakatnya.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita mendapat fakta, bagaimana para orang tua berpesan kepada
anak-anaknya agar mereka dapat menjadi orang-orang yang sukses di mata
masyarakat dan menjadi buah bibir yang dapat di banggakan oleh keluarga dan
sanak yang lain. Sebab anak yang bisa menjadi
kebanggaan hati orang tua di tengah masyarakat, berarti mereka telah berbakti
kepada orang tuanya. Orang tua semacam ini tidak hanya menuntut
anak-anaknya berbakti kepada mereka ketika di rumah saja, tetapi juga menuntut
anaknya mengharumkan nama orang tua di tengah masyarakat dengan prestasi yang
dapat di banggakan oleh masyarakat. Perasaan semacam ini adalah fitrah yang
Allah tanamkan pada orang tua. Akan tetapi, fitrah semacam ini pada orang yang
tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat ditampilkan secara salah seperti
yang Allah sinyalir dalam firman-Nya yang kita kutip diatas. Letak kesalahan
mereka ialah melihat anak hanya semata-mata sebagai perhiasan duniawi bagi
orang tuanya tanpa mau peduli dengan upaya pembekalan diri bagi kehidupan di
akhirat untuk orang tua maupun anaknya. Sebab bagaimana pun prestasi anak di dunia ini, ia tidak akan
dapat menyelamatkan orang tuanya dari adzab Allah kalau dia dan anaknya tidak
beriman, bertaqwa, dan beramal shalih.
Penting bagi anak
memahami fitrah orang tua semacam ini agar anak selalu dapat berusaha untuk
berbakti kepada orang tua dan berprestasi dalam kehidupannya di tengah
masyarakat. Anak yang dapat melaksanakan tugas-tugas ini berarti telah membuat
hati orang tua mereka tenang dan tentram.
2.9 SANGAT SEDIH BILA ANAKNYA CELAKA ATAU MENDERITA
“Dan Yaqub
berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: `Aduhai duka citaku
terhadap Yusuf`, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia
adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).”
(Q.S Yusuf ayat 84)
Kadar kesedihan orang tua karena
anaknya celaka atau menderita tentunya berbeda-beda. Hal ini tergantung pada
dangkal dan dalamnya kecintaan orang tua terhadap anak yang bersangkutan.
Semakin dalam cinta kepada anaknya, semakin berat pula rasa sedih yang diderita
oleh orang tua bila anaknya celaka atau menderita. Kadar kecintaan orang tua
kepada anak-anaknya todaklah sama. Hal ini tidaklah menyalahi agama selama
tidak di wujudkan secara pilih kasih dalam memberikan hal-hal yang bersifat
material kepada anak-anaknya. Allah juga tidak melarang orang tua mencintai
anak-anaknya dengan kadar yang tak sama. Karena rasa cinta adalah hal ghaib.
Manusia tidak mampu menguasainya. Karena itu, orang tua tidak disalahkan
sekedar mencintai anaknya lebih daripada anaknya yang lain.
Rasa sedih orang tua ketika anaknya
celaka atau menderita dialami oleh semua orang tua, karena orang tua merasa bertanggung jawab atas nasib anaknya. Selain
itu, orang tua merasa bahwa anak-anaknya adalah milik mereka yang paling
berharga. Tidak ada kekayaan di dunia ini yang lebih berharga bagi orang tua,
kecuali anak-anaknya. Selain itu, anak tidaklah dapat diusahakan memperolehnya
dengan cara-cara yang berlaku pada pembuatan barang. Kesadaran akan beratnya
dan sulitnya mendapatkan anak, membuat orang tua semakin menyadari nilai anak
bagi kehidupan mereka; juga karena anak ini menjadi penghibur dan penerus
keturunan mereka di kemudian hari. Inilah salah satu faktor yang membuat orang
tua merasa sangat berat kehilangan anak-anaknya.
Anak haruslah menyadari fitrah orang
tuanya ini agar anak-anak dapat menjaga diri supaya tidak mengalami kecelakaan dan
hidup sembrono, yang menyebabkan menderita. Jika orang tua pada suatu saat
mengingatkan anak-anaknya agar menjauhi sesuatu yang dapat menimbulkan
malapetaka atau kerugian bagi diri anak, hal itu adalah muncul dari rasa memiliki yang dalam pada diri orang tuanya. Karena
itu, anak harus senantiasa memperhatikan
nasehat, petunjuk, dan bimbingan orang tuanya dalam kehidupan ini agar ia
dapat menempuh kehidupan dengan baik. Sudah tentu bimbingan, petunjuk, dan
nasehat itu harus sejalan dengan syari’at Allah sendiri.
2.10 BERSABAR MENGAHDAPI
PERILAKU BURUK ANAKNYA
“Mereka berkata:
`Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan
Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu
sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang
yang benar.`
Mereka datang membawa baju gamisnya (yang
berlumuran) dengan darah palsu. Yaqub berkata: `Sebenarnya dirimu sendirilah
yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang
kamu ceritakan.`” (Q.S Yusuf ayat 17-18)
Kelakuan buruk
anak dapat menyeret orang tuanya kedalam keadaan yang merugikan, sedikitnya
kerugian nama baik. Keadaan orang tua yang nama baiknya dicemarkan oleh anaknya
di mata orang lain merupakan penderitaan batin baginya. Akan tetapi, biasanya
orang tua menghadapinya dengan sabar. Pertama, ia akan menasehati anaknya;
kedua, memperingatkannya dengan keras. Jika langkah ini tidak berhasil, maka
orang tua akan bersikap acuh tak acuh dan membiarkan anaknya. Jarang orang tua
yang menghukum anaknya seperti menghukum orang lain karena perilaku buruknya.
Sifat sabar yang
ada pada orang tua dalam menghadapi perilaku buruk anak berpangkal pada fitrah
keinginan orang tua agar anaknya dapat melangsungkan hidupnya di kemudian hari
lebih baik daripada dirinya sendiri. Mereka mempunyai harapan besar adanya
perubahan anaknya pada masa depan. Hal inilah yang mendorong orang tua bersikap
sabar menghadapi perilaku buruk anaknya. Harapan ini ada kalanya terkabul,
tetapi tidak sedikit yang sia-sia. Walaupun orang tua menyadari belum tentu
harapan baik kepada anaknya itu terkabul, tetapi mereka tetap saja bersabar.
Islam tidak
melarang orang tua bersabar menghadapi perilaku buruk anaknya tanpa menjatuhkan
hukuman apa pun. Sebab contoh semacam itu telah dilakukan oleh ketiga Nabi
Allah. Namun perlu di ingat bahwa pada saat itu belum ada ketentuan hukum bunuh
atas orang yang membunuh. Oleh karena itu, Nabi Adam menyerahkan perkara Qabil
kepada Allah. Setelah syari’at Islam tegas menentukan hukuman atas perilaku
buruk tertentu, maka orang tua muslim wajib mengindahkan hal ini.
Para anak harus
menyadari fitrah sabar orang tua ini. Jika diantara saudaranya dibiarkan
berperilaku buruk oleh orang tuanya, maka dia tidak boleh memprotes atau
memaksa orang tuanya bertindak sesuatu terhadap saudaranya itu. Karena anak
tidak bisa merasakan betapa berat orang tua menindak anaknya yang bersalah.
Bahkan sering kali orang tua menjadi serba salah menentukan sikap. Kebimbangan
semacam ini dapat memicu anak untuk berperilaku lebih buruk. Karena itu, orang
tua dapat bermusyawarah dengan anak-anaknya yang lain untuk mengatasi perilaku
buruk salah seorang anaknya itu. Sebaliknya, anak-anak harus pula menyadari
bahwa orang tuanya tidak bisa bertindak dengan cepat terhadap anak yang
berkelakuan buruk itu. Banyak perasaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan
cepat tersebut. Perasaan-perasaan ini tidak bisa dihayati oleh anak. Jadi, ada
perbedaan penghayatan masalah antara orang tua dan anak. Sebaiknya para anak
memberikan kesempatan kepada orang tua untuk berfikir dan merenung. Anak tidak
boleh memaksakan cara penyelesaiannya kepada orang tuanya.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Orang tua diberikan sifat-sifat fitrah yang tersebut oleh Allah agar
manusia tidak punah, kerena jika orang tua tidak memiliki sifat fitrah ataupun
rasa sayang terhadap anaknya, sudah lama
dunia ini telah hancur. Berkat perjuangan orang tua jugalah sehingga
kita dapat tumbuh dewasa dan berkepribadian yang baik seperti ini.
Orang tua
menganggap anak seperti perhiasan dan harta yang sangat berharga, bahkan lebih
dari itu, orang tua lebih rela kehilangan harta kekayaan daripada harus
kehilangan anak. Mereka rela melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya, mereka
juga selalu sabar dalam merawat dan menjaga kita sebagai anaknya, dan akan
selalu memaafkan kesalahan anaknya meskipun anak tersebut telah mencoreng nama
baik keluarga.
Oleh
karena itu kita sebagai anak harus bisa
menjaga martabat kedua orang tua. Bila anak berhasil menjaga martabat
kedua orang tuanya di tengah masyarakat, tentu mereka akan dicintai ibu
bapaknya. Sebab anak semacam inilah yang dapat menjadi perhiasan dalam
kehidupan ibu bapaknya di tengah masyarakat.
3.2 Saran
Pada kesempatan kali ini penulis
ingin memberikan saran bahwa sebaiknya kita sebagai anak bisa memahami sifat
fitrah orang tua dan memahami apa yang menjadi keinginannya, karena kelak kita
pun akan menjadi orang tua. Sebagai anak juga kita harus bisa membuat orang tua
bangga dan bahagia, jangan sampai orang tua menjadi kecewa karena kita tidak
bisa melakukan yang terbaik untuk orang tua kita.